Analisis
Perbandingan Kinerja Bank Syariah di Indonesia
Disusun Oleh :
Kurnia Hari Setiawan
No.Mhs. 14211040
FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Lembaga keuangan adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan berupa penghimpunan
dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi
perusahaan[1]. Atas peran dan fungsinya tersebut, maka lembaga keuangan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Bank, merupakan salah satu lembaga
keuangan formal yang dianggap paling dominan baik dari segi jumlah mau pun
cakupan pasar dalam memediasikan dana dari pemilik dana kepada pihak yang
membutuhkan dana. Oleh karena itu, efisiensi dari suatu bank merupakan hal penting dalam menunjang keberlangsungan
dan kemajuan perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
intermediasi.
Saat ini Bank Indonesia memberikan
perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan
perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan
syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi
peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan
sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan,
senantiasa menggunakan underlying
transaksi di sektor riil, sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak
terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar), sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji
ketangguhannya dari direct hit krisis
keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung
terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh
perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak, baik
bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun pihak bank
selaku pengelola dana.
Perbankan syariah sudah ada dan
beroperasi di Indonesia sejak 1992, namun selama periode tersebut perbankan
syariah tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pasca krisis finansial
1998, industri perbankan syariah mulai menunjukan progres yang positif. Keberhasilan Bank Muamalat dalam menghadapi krisis moneter 1998 menjadi dasar bagi
dukungan awal pemerintah[2]
terhadap perbankan syariah yang kemudian secara tidak langsung membuka pintu
bagi perkembangan perbankan syariah yang lebih pesat. Dukungan terhadap
pengembangan perbankan syariah juga diperlihatkan dengan adanya dual banking system, di mana bank
konvensional diperkenankan untuk membuka unit usaha yang berbasis syariah.
Tabel 1.1
Perkembangan Kelembagaan dan Kinerja Perbankan Syariah di Indonesia
Tahun
|
Bank
Umum
|
BUS
|
UUS
|
BPRS
|
Jaringan Kantor
|
Aset
(Rp Miliar)
|
2000
|
142
|
2
|
3
|
79
|
140
|
1,790
|
2001
|
142
|
2
|
3
|
81
|
182
|
2,719
|
2002
|
141
|
2
|
6
|
83
|
229
|
4,045
|
2003
|
138
|
2
|
8
|
84
|
337
|
8,152
|
2004
|
133
|
3
|
15
|
88
|
443
|
15,803
|
2005
|
131
|
3
|
19
|
92
|
550
|
21,502
|
2006
|
130
|
3
|
20
|
105
|
693
|
27,618
|
2007
|
125
|
3
|
26
|
114
|
802
|
37,754
|
2008
|
119
|
5
|
27
|
131
|
1069
|
51,249
|
2009
|
115
|
6
|
25
|
138
|
1258
|
68,212
|
2010
|
111
|
11
|
23
|
150
|
1763
|
100,258
|
2011
|
109
|
11
|
24
|
155
|
2101
|
148,987
|
2012
|
109
|
11
|
24
|
155
|
2380
|
149,321
|
Sumber: www.bi.go.id diolah
Berdasarkan tabel 1.1 jumlah bank
syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan di hampir setiap tahunnya.
Sampai dengan Februari 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai
jaringan sebanyak 11 bank umum syariah (BUS), 24 unit usaha syariah (UUS), dan
15 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Total jaringan kantor industri
perbankan syariah mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru
nusantara. Total aset perbankan syariah mencapai Rp149,3
triliun (BUS & UUS Rp145,6 triliun dan BPRS Rp3,7 triliun) atau tumbuh
sebesar 51,1 persen (yoy) dari posisi tahun sebelumnya. Industri perbankan
syariah mampu menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang tinggi dengan rata-rata
sebesar 40,2 persen per tahun dalam lima tahun terakhir (2007-2011), sementara
rata-rata pertumbuhan perbankan nasional hanya sebesar 16,7 persen per tahun. Oleh karena itu, industri perbankan syariah dijuluki sebagai ‘the fastest growing industry’ (Alamsyah,
2012)[3].
Gambar 1.1 Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)
Sumber:
Global Islamic Finance Report 2011
Pesatnya pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia dapat dijadikan sebagai pendorong utama bagi
perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Dalam penilaian Global
Islamic Financial Report (GIFR) 2011, Indonesia menduduki urutan keempat
negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan
syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia (Gambar 1.1). Dengan melihat
beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah
lembaga keuangan non bank syariah, maupun ukuran aset
keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka Indonesia diproyeksikan
akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Hal tersebut
dapat diwujudkan dengan dukungan semua pihak terutama pemerintah melalui
regulasi yang tepat sasaran.
Undang-Undang
Perbankan Syariah No. 21 Pasal 68 Tahun 2008 merupakan salah satu peraturan
pemerintah terkait perbankan syariah yang tingkat efektivitasnya dalam
memajukan industri perbankan syariah di Indonesia masih diperdebatkan hingga
saat ini. Pada pasal 68, disebutkan bahwa dalam hal Bank Umum Konvensional
memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen dari
total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini,
maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut
menjadi BUS (spin-off).
Peraturan tersebut menimbulkan dua sisi pemikiran yang berbeda. Di satu
sisi, UUS merupakan pilihan alternatif bagi bank konvensional yang ingin turut
serta masuk dalam dunia bisnis perbankan syariah dengan biaya yang relatif
ringan serta proses perizinan yang cepat. Minimisasi biaya juga lebih mudah
dilakukan oleh UUS dengan memanfaatkan berbagai
sarana dan pra-sarana yang dimiliki oleh bank induk seperti IT, jaringan dan
SDM, sehingga skala efisiensi mungkin saja lebih mudah dicapai oleh UUS
dibandingkan dengan BUS.
Di sisi lain, UUS
dianggap kurang relevan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan dan target market share perbankan syariah.
Kebijakan spin-off UUS menjadi BUS merupakan jalan mudah agar
perbankan syariah Indonesia menjadi center
of excellent syariah dunia mengingat BUS memiliki independensi yang tinggi
dalam penentuan target dan pengembangan kapasitas operasional. Selain itu,
proses migrasi sistem atau SDM serta pengukuran kinerja bank juga lebih mudah
dilakukan oleh BUS (Riyanto, 2013)[4].
Faktanya,
sampai dengan 2012, masih banyak UUS yang total asetnya
masih di bawah tiga triliun rupiah, sehingga apabila dipaksakan melakukan spin-off akan berpotensi menjadi BUS
yang prematur (Kharim,
2013)[5]. Banyak UUS yang dipisah menjadi BUS mengalami prematur atau belum siap
dan menyebabkan penurunan daya saing bank syariah bila dibanding dengan bank
konvensional (Amin, 2011)[6].
Tabel 1.2 Daftar Laba UUS dan BUS di Indonesia per Desember 2012
Nama UUS
|
Aset
(Rp Juta)
|
Laba
(Rp Juta)
|
Nama BUS
|
Aset
(Rp Juta)
|
Laba
(Rp Juta)
|
Bank Permata
|
10,646,300
|
256.42
|
Bank Syariah Mandiri
|
54,244,054
|
805.613
|
Bank CIMB Niaga
|
9,078,234
|
140.021
|
Bank Muamalat Syariah
|
44,932,176
|
414.399
|
Bank Tabungan Negara (Persero)
|
7,664,400
|
137.675
|
BRI Syariah
|
14,088,914
|
256.765
|
Bank Internasional Indonesia
|
2,094,969
|
52.083
|
BNI Syariah
|
10,640,032
|
138.052
|
Bank Danamon Indonesia
|
2,030,093
|
-49.654
|
Bank Syariah Mega Indonesia
|
8,212,763
|
114.621
|
BNI Syariah (BNIS) dan BRI Syariah (BRIS) merupakan dua contoh bank
syariah yang dibentuk berdasarkan spin-off. Meskipun telah beroperasi
sebagai bank umum syariah, nilai aset dari BNIS berada hampir sama dengan nilai
aset dari Bank Permata Syariah (Rp10,6 triliun). Kemudian apabila ditinjau
berdasarkan laba perusahaan, dengan aset yang hampir sama besar, laba dari BNIS
hanya sebesar
Rp138 miliar per
Desember 2012, nilai tersebut berada jauh di bawah laba Bank Permata Syariah
yang mencapai Rp256 miliar per Desember 2012. Selanjutnya Bank
CIMB Syariah dengan total aset hanya Rp9 triliun bahkan mampu mencapai laba yang lebih besar dari BNIS, yaitu
sebesar Rp140 miliar. Hal yang sama juga terjadi pada
BRIS, dengan nilai aset sebesar Rp14 triliun, BRIS hanya mencapai laba sebesar Rp256,7 miliar, nilai tersebut hanya berada
sedikit di atas laba Bank Permata Syariah yang memiliki total aset lebih rendah
dibandingkan BRIS, yaitu Rp10,65
triliun (Tabel 1.2).
Fakta tersebut memberikan sanggahan atas pandangan akan kurang
relevannya UUS dalam membangun industri perbankan syariah di Indonesia, serta
pandangan bahwa BUS tidak selalu menunjukkan kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan UUS. Berdasarkan gap antara aset dan pendapatan pada
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tinjauan ulang akan efektivitas
peraturan UU No. 21 Pasal 68 Tahun 2008, yang membahas mengenai spin-off,
sangat dibutuhkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut,
maka penelitian ini mengambil tema mengenai “Analisis Perbandingan Kinerja Bank Syariah di Indonesia”
Rumusan Masalah
Terdapat perbedaan yang
signifikan khususnya pada besaran aset dan laba bersih antara BUS dan UUS di
Indonesia. Beberapa BUS dengan nilai aset yang lebih besar daripada UUS
menghasikan laba yang lebih rendah, sehingga efektivitas dari BUS menjadi
dipertanyakan. Aset yang besar seharusnya lebih memungkinkan BUS untuk
berkembang cepat.
Menurut
Mulya Siregar[7]
(wawancara, 20 September 2013) indikator dari pertumbuhan suatu bank adalah
pada besarnya aset yang dimiliki, besarnya laba yang dihasilkan serta bagaimana
bank dapat mengalokasikan dananya secara tepat. Berdasarkan penjelasan tersebut
maka apabila aset yang besar tidak diimbangi oleh laba yang tinggi, inefisiensi
mungkin saja terjadi pada lembaga tersebut, sehingga perbandingan efisiensi
antara UUS dan BUS menjadi sangat dibutuhkan.
BNIS dan BRIS yang merupakan bank syariah hasil spin-off yang masuk kedalam daftar bank
syariah dengan aset yang relatif besar namun menghasilkan laba yang relatif
rendah dibandigkan dengan laba UUS yang memiliki aset lebih rendah. Berdasarkan
uraian tersebut, maka penelitian ini juga mencoba membandingkan kinerja
efisiensi bank syariah sebelum dan sesudah dilakukan spin-off. Perbandingan tersebut diperlukan untuk mengetahui arah
dari perubahan kinerja bank setelah terjadinya perubahan struktur kelembagaan
dari Unit Usaha yang masih bergantung kepada induk perusahaan menjadi Perseroan
Terbatas yang mandiri.
Hasil dari
pengukuran kedua efisiensi di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap penilaian efektivitas dari diberlakukannya Pasal 68, UU No. 21 Tahun 2008. Apakah
dengan dilakukannya spin-off pada UUS
akan menjamin peningkatan pada industri perbankan syariah, ataukah justru
menghambat kinerja industri perbankan syariah di Indonesia.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pentingnya pengukuran
efisiensi industri perbankan syariah di Indonesia untuk menguji efektivitas
dari diberlakukannya Pasal
68, UU
No. 21 Tahun 2008 serta masih adanya fenomena gap antara
penelitian Harjum Muharam dan Rizki Pusvitasari (2007) mengenai Analisis Perbandingan Efisiensi Perbankan
Syariah yang menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan efisiensi
antara BUS dan UUS serta hasil penelitian dari Peter M. Jackson dan Meryem
Duygun Fethi (2000) mengenai Evaluating
the Technical Efficiency of Turkish Commercial Banks yang menyatakan bahwa bank yang memiliki ukuran dan keuntungan lebih besar seperti BUS dapat beroperasi secara efisien pada tingkat
yang lebih tinggi. Maka penelitian ini mengambil hipotesis sebagai berikut:
H1: Unit usaha syariah lebih efisien dari
bank umum syariah
H2
: Unit usaha syariah yang di spin-off menjadi bank umum syariah tidak
mengalami peningkatan efisiensi
Tujuan Penelitian
1.
Mengukur
efektivitas kinerja perbankan syariah di Indonesia, melalui :
§ Pengukuran efisiensi antara BUS terbesar dengan UUS terbesar di
Indonesia.
§ Mengukur efisiensi sebelum dan sesudah diberlakukannya spin-off pada dua BUS hasil spin-off unit usaha syariah di
Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
a) Menjadi
bahan pertimbangan bagi unit usaha syariah maupun bank umum syariah untuk
menjaga dan meningkatkan efisiensinya.
b) Menjadi
bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang dapat memajukan
perbankan syariah nasional.
c) Dijadikan
sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bab I: Pendahuluan
Bab ini membahas
mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, hipotesis
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan Pustaka
Bab ini terdiri dari
landasan teori, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran teoretis.
Bab III: Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang
variabel penelitian dan definisi operasionalnya, penentuan populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV: Hasil dan Analisis
Bab ini menguraikan
analisis data dan interpretasi hasil olah data.
Bab V: Kesimpulan
Bab ini menjelaskan
kesimpulan, keterbatasan penelitian dan saran.
[2] Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip
Bagi Hasil.
UU No. 10 Tahun 1998 tentang landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang
dapat dioperasikan
dan diimplementasikan oleh bank umum syariah.
[3] Deputi Gubernur Bank Indonesia 2013
[4] Direktur Utama Bank Syariah Bukopin 2013
[5] Dewan Pengawas Syariah Bank Danamon Syariah 2013 dan Founder Partner
of Karim Business Consulting
[6] Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia dan Ketua Asosiasi Bank Syariah
Seluruh Indonesia (Asbisindo) 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar