Minggu, 06 April 2014

Penlitian Ilmiah


Analisis Perbandingan Kinerja Bank Syariah di Indonesia

http://raqheelcaze.files.wordpress.com/2011/05/logo_gunadarma.jpg



Disusun Oleh :
Kurnia Hari Setiawan
No.Mhs. 14211040


FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014

Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Lembaga keuangan adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan berupa penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi perusahaan[1]. Atas peran dan fungsinya tersebut, maka lembaga keuangan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Bank, merupakan salah satu lembaga keuangan formal yang dianggap paling dominan baik dari segi jumlah mau pun cakupan pasar dalam memediasikan dana dari pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Oleh karena itu, efisiensi dari suatu bank merupakan hal penting dalam menunjang keberlangsungan dan kemajuan perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
Saat ini Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying transaksi di sektor riil, sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar), sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun pihak bank selaku pengelola dana.
Perbankan syariah sudah ada dan beroperasi di Indonesia sejak 1992, namun selama periode tersebut perbankan syariah tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pasca krisis finansial 1998, industri perbankan syariah mulai menunjukan progres yang positif. Keberhasilan Bank Muamalat dalam menghadapi krisis moneter 1998 menjadi dasar bagi dukungan awal pemerintah[2] terhadap perbankan syariah yang kemudian secara tidak langsung membuka pintu bagi perkembangan perbankan syariah yang lebih pesat. Dukungan terhadap pengembangan perbankan syariah juga diperlihatkan dengan adanya dual banking system, di mana bank konvensional diperkenankan untuk membuka unit usaha yang berbasis syariah.

Tabel 1.1 Perkembangan Kelembagaan dan Kinerja Perbankan Syariah di Indonesia
Tahun
Bank
Umum
BUS
UUS
BPRS
Jaringan Kantor
Aset
(Rp Miliar)
2000
142
2
3
79
140
1,790
2001
142
2
3
81
182
2,719
2002
141
2
6
83
229
4,045
2003
138
2
8
84
337
8,152
2004
133
3
15
88
443
15,803
2005
131
3
19
92
550
21,502
2006
130
3
20
105
693
27,618
2007
125
3
26
114
802
37,754
2008
119
5
27
131
1069
51,249
2009
115
6
25
138
1258
68,212
2010
111
11
23
150
1763
100,258
2011
109
11
24
155
2101
148,987
2012
109
11
24
155
2380
149,321
Sumber: www.bi.go.id diolah

Berdasarkan tabel 1.1 jumlah bank syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan di hampir setiap tahunnya. Sampai dengan Februari 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 bank umum syariah (BUS), 24 unit usaha syariah (UUS), dan 15 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Total jaringan kantor industri perbankan syariah mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Total aset perbankan syariah mencapai Rp149,3 triliun (BUS & UUS Rp145,6 triliun dan BPRS Rp3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1 persen (yoy) dari posisi tahun sebelumnya. Industri perbankan syariah mampu menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang tinggi dengan rata-rata sebesar 40,2 persen per tahun dalam lima tahun terakhir (2007-2011), sementara rata-rata pertumbuhan perbankan nasional hanya sebesar 16,7 persen per tahun. Oleh karena itu, industri perbankan syariah dijuluki sebagai ‘the fastest growing industry’ (Alamsyah, 2012)[3].

Gambar 1.1 Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)
Sumber: Global Islamic Finance Report 2011

Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia dapat dijadikan sebagai pendorong utama bagi perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) 2011, Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia (Gambar 1.1). Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan dukungan semua pihak terutama pemerintah melalui regulasi yang tepat sasaran.
Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Pasal 68 Tahun 2008 merupakan salah satu peraturan pemerintah terkait perbankan syariah yang tingkat efektivitasnya dalam memajukan industri perbankan syariah di Indonesia masih diperdebatkan hingga saat ini. Pada pasal 68, disebutkan bahwa dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi BUS (spin-off).
Peraturan tersebut menimbulkan dua sisi pemikiran yang berbeda. Di satu sisi, UUS merupakan pilihan alternatif bagi bank konvensional yang ingin turut serta masuk dalam dunia bisnis perbankan syariah dengan biaya yang relatif ringan serta proses perizinan yang cepat. Minimisasi biaya juga lebih mudah dilakukan oleh UUS dengan memanfaatkan berbagai sarana dan pra-sarana yang dimiliki oleh bank induk seperti IT, jaringan dan SDM, sehingga skala efisiensi mungkin saja lebih mudah dicapai oleh UUS dibandingkan dengan BUS.
Di sisi lain, UUS dianggap kurang relevan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan dan target market share perbankan syariah. Kebijakan spin-off  UUS menjadi BUS merupakan jalan mudah agar perbankan syariah Indonesia menjadi center of excellent syariah dunia mengingat BUS memiliki independensi yang tinggi dalam penentuan target dan pengembangan kapasitas operasional. Selain itu, proses migrasi sistem atau SDM serta pengukuran kinerja bank juga lebih mudah dilakukan oleh BUS (Riyanto, 2013)[4].
Faktanya, sampai dengan 2012, masih banyak UUS yang total asetnya masih di bawah tiga triliun rupiah, sehingga apabila dipaksakan melakukan spin-off akan berpotensi menjadi BUS yang prematur (Kharim, 2013)[5]. Banyak UUS yang dipisah menjadi BUS mengalami prematur atau belum siap dan menyebabkan penurunan daya saing bank syariah bila dibanding dengan bank konvensional (Amin, 2011)[6].
           
Tabel 1.2 Daftar Laba UUS dan BUS di Indonesia per Desember 2012
Nama UUS
Aset
(Rp Juta)
Laba
(Rp Juta)
Nama BUS
Aset
(Rp Juta)
Laba
(Rp Juta)
Bank Permata
10,646,300
256.42
Bank Syariah Mandiri
54,244,054
805.613
Bank CIMB Niaga
9,078,234
140.021
Bank Muamalat Syariah
44,932,176
414.399
Bank Tabungan Negara (Persero)
7,664,400
137.675
BRI Syariah
14,088,914
256.765
Bank Internasional Indonesia
2,094,969
52.083
BNI Syariah
10,640,032
138.052
Bank Danamon Indonesia
2,030,093
-49.654
Bank Syariah Mega Indonesia
8,212,763
114.621
Sumber: www.bi.go.id diolah

BNI Syariah (BNIS) dan BRI Syariah (BRIS) merupakan dua contoh bank syariah yang dibentuk berdasarkan spin-off. Meskipun telah beroperasi sebagai bank umum syariah, nilai aset dari BNIS berada hampir sama dengan nilai aset dari Bank Permata Syariah (Rp10,6 triliun). Kemudian apabila ditinjau berdasarkan laba perusahaan, dengan aset yang hampir sama besar, laba dari BNIS hanya sebesar Rp138 miliar per Desember 2012, nilai tersebut berada jauh di bawah laba Bank Permata Syariah yang mencapai Rp256 miliar per Desember 2012. Selanjutnya Bank CIMB Syariah dengan total aset hanya Rp9 triliun bahkan mampu mencapai laba yang lebih besar dari BNIS, yaitu sebesar Rp140 miliar. Hal yang sama juga terjadi pada BRIS, dengan nilai aset sebesar Rp14 triliun, BRIS hanya mencapai laba sebesar Rp256,7 miliar, nilai tersebut hanya berada sedikit di atas laba Bank Permata Syariah yang memiliki total aset lebih rendah dibandingkan BRIS, yaitu Rp10,65 triliun (Tabel 1.2).
Fakta tersebut memberikan sanggahan atas pandangan akan kurang relevannya UUS dalam membangun industri perbankan syariah di Indonesia, serta pandangan bahwa BUS tidak selalu menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan UUS. Berdasarkan gap antara aset dan pendapatan pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tinjauan ulang akan efektivitas peraturan UU No. 21 Pasal 68 Tahun 2008, yang membahas mengenai spin-off, sangat dibutuhkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini mengambil tema mengenai “Analisis Perbandingan Kinerja Bank Syariah di Indonesia”

Rumusan Masalah
Terdapat perbedaan yang signifikan khususnya pada besaran aset dan laba bersih antara BUS dan UUS di Indonesia. Beberapa BUS dengan nilai aset yang lebih besar daripada UUS menghasikan laba yang lebih rendah, sehingga efektivitas dari BUS menjadi dipertanyakan. Aset yang besar seharusnya lebih memungkinkan BUS untuk berkembang cepat.
Menurut Mulya Siregar[7] (wawancara, 20 September 2013) indikator dari pertumbuhan suatu bank adalah pada besarnya aset yang dimiliki, besarnya laba yang dihasilkan serta bagaimana bank dapat mengalokasikan dananya secara tepat. Berdasarkan penjelasan tersebut maka apabila aset yang besar tidak diimbangi oleh laba yang tinggi, inefisiensi mungkin saja terjadi pada lembaga tersebut, sehingga perbandingan efisiensi antara UUS dan BUS menjadi sangat dibutuhkan.
            BNIS dan BRIS yang merupakan bank syariah hasil spin-off yang masuk kedalam daftar bank syariah dengan aset yang relatif besar namun menghasilkan laba yang relatif rendah dibandigkan dengan laba UUS yang memiliki aset lebih rendah. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini juga mencoba membandingkan kinerja efisiensi bank syariah sebelum dan sesudah dilakukan spin-off. Perbandingan tersebut diperlukan untuk mengetahui arah dari perubahan kinerja bank setelah terjadinya perubahan struktur kelembagaan dari Unit Usaha yang masih bergantung kepada induk perusahaan menjadi Perseroan Terbatas yang mandiri.
Hasil dari pengukuran kedua efisiensi di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penilaian efektivitas dari diberlakukannya Pasal 68, UU No. 21 Tahun 2008. Apakah dengan dilakukannya spin-off pada UUS akan menjamin peningkatan pada industri perbankan syariah, ataukah justru menghambat kinerja industri perbankan syariah di Indonesia.

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pentingnya pengukuran efisiensi industri perbankan syariah di Indonesia untuk menguji efektivitas dari diberlakukannya Pasal 68, UU No. 21 Tahun 2008 serta masih adanya fenomena gap antara penelitian Harjum Muharam dan Rizki Pusvitasari (2007) mengenai Analisis Perbandingan Efisiensi Perbankan Syariah yang menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan efisiensi antara BUS dan UUS serta hasil penelitian dari Peter M. Jackson dan Meryem Duygun Fethi (2000) mengenai Evaluating the Technical Efficiency of Turkish Commercial Banks yang menyatakan bahwa bank yang memiliki ukuran dan keuntungan lebih besar seperti BUS  dapat beroperasi secara efisien pada tingkat yang lebih tinggi. Maka penelitian ini mengambil hipotesis sebagai berikut:
H1:       Unit usaha syariah lebih efisien dari bank umum syariah
H2 :      Unit usaha syariah yang di spin-off menjadi bank umum syariah tidak mengalami peningkatan efisiensi


Tujuan Penelitian
1.         Mengukur efektivitas kinerja perbankan syariah di Indonesia, melalui :
§  Pengukuran efisiensi antara BUS terbesar dengan UUS terbesar di Indonesia.
§  Mengukur efisiensi sebelum dan sesudah diberlakukannya spin-off pada dua BUS hasil spin-off unit usaha syariah di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
a)      Menjadi bahan pertimbangan bagi unit usaha syariah maupun bank umum syariah untuk menjaga dan meningkatkan efisiensinya.
b)      Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang dapat memajukan perbankan syariah nasional.
c)      Dijadikan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I:    Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, hipotesis penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II:  Tinjauan Pustaka
Bab ini terdiri dari landasan teori, penelitian terdahulu, dan kerangka  pemikiran teoretis.
Bab III: Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang variabel penelitian dan definisi  operasionalnya, penentuan populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV: Hasil dan Analisis
Bab ini menguraikan analisis data dan interpretasi hasil olah data.
Bab V:  Kesimpulan
Bab ini menjelaskan kesimpulan, keterbatasan penelitian dan saran.



[1] Menurut SK Menkeu RI No. 792/1990
[2] Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
   UU No. 10 Tahun 1998 tentang landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan
   dan diimplementasikan oleh bank umum syariah.
[3] Deputi Gubernur Bank Indonesia 2013
[4] Direktur Utama Bank Syariah Bukopin 2013
[5] Dewan Pengawas Syariah Bank Danamon Syariah 2013 dan Founder Partner of Karim Business Consulting
[6] Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia dan Ketua Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo) 2013.
[7] Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia 2010-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar