MERAIH LOYALITAS PELANGGAN
Nama Kelompok:
1.
Muhammad Harun Ramadhan 14211855
2.
Hendra Kurniawan 13211286
3.
Kurnia Hari 14211040
Abstract
Customer loyalty has been recognized as the dominant factor in a
business organization's success. Therefore it has received considerable
attention in both marketing and management theory and practice.This article
describes factors that determine customer loyalty and explores the essential
strategic considerations for companies Contemplating the development of loyalty
initiatives. It also establishes customer satisfactions, service quality,
institution image, and switching barrier are cultivated in a manner that leads
to loyalty.
Keywords: customer loyalty, customer satisfactions,
service quality, institution image, and switching barrier
PENDAHULUAN
Arti Penting Loyalitas Pelanggan
Persaingan yang
semakin hebat antara institusi penyedia produk belakangan ini bukan hanya
disebabkan globalisasi. Tetapi lebih disebabkan karena pelanggan semakin
cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang memaafkan, dan didekati oleh
banyak produk. Kemajuan teknologi komunikasi juga ikut berperan meningkatkan
intensitas persaingan, karena memberi pelanggan akses informasi yang lebih
banyak tentang berbagai macam produk yang ditawarkan. Artinya pelanggan memiliki
pilihan yang lebih banyak dalam menggunakan uang yang dimilikinya.
Kotler, Hayes
dan Bloom (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi perlu
mendapatkan loyalitas pelanggannya. Pertama: pelanggan yang ada lebih
prospektif, artinya pelanggan loyal akan memberi keuntungan besar kepada
institusi. Kedua: biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar berbanding
menjaga dan mempertahankan pelanggan yang ada. Ketiga: pelanggan yang sudah
percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan
lainnya. Keempat: biaya operasi institusi akan menjadi efisien jika memiliki banyak
pelanggan loyal. Kelima: institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial
dikarenakan pelanggan lama telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan
institusi. Keenam: pelanggan loyal akan selalu membela institusi bahkan berusaha
pula untuk menarik dan member saran kepada orang lain untuk menjadi pelanggan.
DEFINISI LOYALITAS
Loyalitas
secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu
objek. Mowen dan Minor (1998) mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi di mana
pelanggan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada
merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang.
Loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek
tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi (Dharmmesta, 1999). Ini berarti
loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual.
Definisi
loyalitas dari pakar yang disebutkan di atas berdasarkan pada dua pendekatan,
yaitu sikap dan perilaku. Dalam pendekatan perilaku, perlu dibedakan antara
loyalitas dan perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai
perilaku pelanggan yang hanya membeli suatu produk secara berulang-ulang, tanpa
menyertakan aspek perasaan dan pemilikan di dalamnya. Sebaliknya loyalitas
mengandung aspek kesukaan pelanggan pada suatu produk. Ini berarti bahwa aspek
sikap tercakup di dalamnya. Loyalitas berkembang mengikuti tiga tahap, yaitu
kognitif, afektif, dan konatif. Biasanya pelanggan menjadi setia lebih dulu
pada aspek kognitifnya, kemudian pada aspek afektif, dan akhirnya pada aspek
konatif. Ketiga aspek tersebut biasanya sejalan, meskipun tidak semua kasus
mengalami hal yang sama.
Tahap pertama: Loyalitas Kognitif
Pelanggan yang
mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan informasi keunggulan suatu produk
atas produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik
fungsional, terutama biaya, manfaat dan kualitas. Jika ketiga faktor tersebut
tidak baik, pelanggan akan mudah pindah ke produk lain. Pelanggan yang hanya
mengaktifkan tahap kognitifnya dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang
paling rentan terhadap perpindahan karena adanya rangsangan pemasaran (Dharmmesta,
1999).
Tahap kedua: Loyalitas Afektif
Sikap merupakan
fungsi dari kognisi pada periode awal pembelian (masa sebelum konsumsi) dan merupakan
fungsi dari sikap sebelumnya ditambah dengan kepuasan di periode berikutnya
(masa setelah konsumsi). Munculnya loyalitas afektif ini didorong oleh faktor
kepuasan yang menimbulkan kesukaan dan menjadikan objek sebagai preferensi. Kepuasan
pelanggan berkorelasi tinggi dengan niat pembelian ulang di waktu mendatang.
Pada loyalitas afektif, kerentanan pelanggan lebih banyak terfokus pada tiga faktor,
yaitu ketidakpuasan dengan merek yang ada, persuasi dari pemasar maupun pelanggan
merek lain, dan upaya mencoba produk lain (Dharmmesta, 1999).
Tahap ketiga: Loyalitas Konatif
Konasi
menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu. Niat merupakan
fungsi dari niat sebelumnya (pada masa sebelum konsumsi) dan sikap pada masa
setelah konsumsi. Maka loyalitas konatif merupakan suatu loyalitas yang
mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Hasil penelitian Crosby
dan Taylor (1983) yang menggunakan model runtutan sikap: keyakinan – sikap –
niat memperlihatkan komitmen untuk melakukan (niat) menyebabkan preferensi
pemilih tetap stabil selama 3 tahun. Jenis komitmen ini sudah melampaui afek.
Afek hanya menunjukkan kecenderungan motivasional, sedangkan komitmen untuk
melakukan menunjukkan suatu keinginan untuk melaksanakan tindakan. Keinginan
untuk membeli ulang atau menjadi loyal itu hanya merupakan tindakan yang
terantisipasi tetapi belum terlaksana. Untuk melengkapi runtutan loyalitas,
satu tahap lagi ditambahkan pada model kognitif-afektif-konatif, yaitu
loyalitas tindakan.
Tahap keempat; Loyalitas Tindakan
Aspek konatif
atau niat untuk melakukan berkembang menjadi perilaku dan tindakan. Niat yang
diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak
dan keinginan untuk mengatasi hambatan dalam melakukan tindakan tersebut. Jadi
loyalitas itu dapat menjadi kenyataan melalui beberapa tahapan, yaitu pertama
sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif,
dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan. Pelanggan yang terintegrasi penuh pada
tahap loyalitas tindakan dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang rendah
tingkat kerentanannya untuk berpindah ke produk lain. Dengan kata lain,
loyalitas tindakan ini hanya sedikit bahkan sama sekali tidak member peluang
pada pelanggan untuk berpindah ke produk lain. Pada loyalitas konasi dan
tindakan, kerentanan pelanggan lebih terfokus pada faktor persuasi dan
keinginan untuk mencoba produk lain.
MENGUKUR LOYALITAS
Secara umum, loyalitas dapat diukur dengan cara-cara berikut:
1.
Urutan pilihan
(choice sequence)
Metode urutan
pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang ini banyak dipakai dalam
penelitian dengan menggunakan panel-panel agenda harian pelanggan lainnya, dan
lebih terkini lagi, data scanner supermarket. Urutan itu dapat berupa:
i. Loyalitas yang tak terpisahkan (undivided loyalty) dapat
ditunjukkan dengan runtutan AAAAAA. Artinya pelanggan hanya membeli suatu
produk tertentu saja. Misalnya: pelanggan selalu memilih clear setiap membeli
shampo.
ii. Loyalitas yang terbagi (divided loyalty) dapat ditunjukkan
dengan runtutan ABABAB. Artinya pelanggan membeli dua merek secara bergantian.
Misalnya: suatu ketika membeli shampo clear dan berikutnya shampo zink.
iii. Loyalitas yang tidak stabil (unstable loyalty) dapat
ditunjukkan dengan runtutan AAABBB. Artinya pelanggan memilih suatu merek untuk
beberapa kali pembelian kemudian berpindah ke merek lain untuk periode berikutnya.
Misalnya: selama 1 tahun pelanggan memilih shampo clear dan tahun berikutnya
shampo zink.
iv. Tanpa loyalitas (no loyalty), ditunjukkan dengan runtutan
ABCDEF. Artinya pelanggan tidak membeli suatu merek tertentu. Kotler (2000, 268) mempunyai istilah lain
untuk loyalitas di atas, yaitu; ‘Hard-core loyals, split loyals, shifting
loyals, dan switchers’.
2.
Proporsi pembelian (proportion ofpurchase)
Berbeda dengan
runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah
kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel pelanggan.
3.
Preferensi (preference)
Cara ini
mengukur loyalitas dengan menggunakan komitmen psikologis atau pernyataan
preferensi. Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang positif”
terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk
membeli.
4.
Komitmen (commitment)
Komitmen lebih
terfokus pada komponen emosional/perasaan. Komitmen terjadi dari keterkaitan
pembelian yang merupakan akibat dari keterlibatan ego dengan kategori merek
(Beatty, Kahle, Homer, 1988). Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah
produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep-diri
pelanggan. Cara pertama dan kedua di atas merupakan pendekatan perilaku
(behavioural approach). Cara ketiga dan keempat termasuk dalam pendekatan
attitudinal (attitudinal approach).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LOYALITAS
i. Kepuasan Pelanggan
Definisi
kepuasan yang terdapat dalam berbagai literatur cukup beragam. Kotler (2000,
36) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai perasaan suka/tidak seseorang
terhadap suatu produk setelah ia membandingkan prestasi produk tersebut dengan
harapannya. Wilkie (1994; 541), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai
tanggapan emosional yang positif pada evaluasi terhadap pengalaman dalam
menggunakan suatu produk atau jasa. Engel (1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
merupakan evaluasi setelah pembelian di mana produk yang dipilih
sekurang-kurangnya sama atau melebihi harapan pelanggan, sedangkan
ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan. Dari
berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan prestasi
atau hasil yang dirasakan.
Baik praktisi ataupun akademisi memahami bahwa loyalitas
pelanggan dan kepuasannya adalah berkaitan, walaupun keterkaitannya adalah
tidak selalu beriringan (Oliver, 1999). Kepuasan adalah langkah yang penting
dalam pembentukan loyalitas tetapi menjadi kurang signifikan ketika loyalitas
mulai timbul melalui mekanisme-mekanisme lainnya. Mekanisme lainnya itu dapat
berbentuk kebulatan tekad dan ikatan sosial. Loyalitas memiliki dimensi yang
berbeda dengan kepuasan. Kepuasan menunjukkan bagaimana suatu produk memenuhi
tujuan pelanggan (Oliver, 1999). Kepuasan pelanggan senantiasa merupakan
penyebab utama timbulnya loyalitas.
Namun
penelitian-penelitian lain mendapati kurangnya pengaruh kepuasan terhadap
loyalitas. Misalnya Jones dan Sasser (1995) menyimpulkan bahwa dengan hanya
memuaskan pelanggan adalah tidak cukup menjaga mereka untuk tetap loyal, sementara
mereka bebas untuk
membuat pilihan. Strewart (1997) menyimpulkan adalah keliru untuk
mengemukakan asumsi bahwa kepuasan dan loyalitas adalah bergerak bersamasama.
Reicheld (1996) mengemukakan bukti bahwa dari para pelanggan yang puas atau
sangat puas, antara 65% sampai 85% akan berpindah ke produk lain. Dalam
industry otomotif pula dia menemukan 85%
sampai 95% pelanggan yang puas, hanya
30% - 40% yang kembali kepada merek atau model sebelumnya.
Oliver (1999),
mencoba mengelompokkan bentuk hubungan kepuasan – loyalitas ke dalam 6 kelompok
panel. Kelompok panel 1 berasumsi bahwa kepuasan dan loyalitas adalah manifesto
yang terpisah dari konsep yang sama dalam cara yang kebanyakan sama. Panel 2
berpendapat bahwa kepuasan adalah konsep inti untuk loyalitas yang mana
loyalitas tidak akan ada tanpa kepuasan, dan bahwa kepuasan adalah dasar dari
loyalitas. Panel 3 mengecilkan peranan dasar dari kepuasan dan mengemukakan
bahwa kepuasan adalah suatu unsur dari loyalitas. Panel 4 menunjukkan bahwa
keberadaan loyalitas tanpa batas di mana kepuasan dan loyalitas ‘sederhana’
menjadi komponennya. Panel 5 mengemukakan bahwa kepuasan merupakan bagian dari
loyalitas, tapi bukan bagian esensi loyalitas. Panel 6 mengemukakan bahwa
kepuasan adalah permulaan dari suatu rangkaian transisi atau peralihan yang
berkulminasi dalam loyalitas. Enam panel tersebut nampak dalam gambar 2.
Loyalitas
terjadi karena adanya pengaruh kepuasan/ketidakpuasan dengan produk tersebut
yang berakumulasi secara terus menerus di samping adanya persepsi tentang
kualitas produk (Boulding, Staelin, dan Zeithaml, 1993), (Bloemer, Ruyter dan
Peeters, 1998).
ii. Kualitas Jasa
Salah satu
faktor penting yang dapat membuat
pelanggan puas adalah kualitas jasa (Shellyana dan Basu, 2002). Kualitas jasa
ini mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan (Anderson dan Sullivan
1993). Pemasar dapat meningkatkan kualitas jasa untuk mengembangkan loyalitas
pelanggannya. Produk yang berkualitas rendah akan menanggung resiko pelanggan
tidak setia. Jika kualitas diperhatikan, bahkan diperkuat dengan periklanan
yang intensif, loyalitas pelanggan akan lebih mudah diperoleh Kualitas dan
promosi menjadi faktor kunci untuk menciptakan loyalitas pelanggan
.
. jangka panjang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelanggan
akan menjadi loyal pada produk-produk berkualitas tinggi jika produk-produk
tersebut ditawarkan dengan harga yang bersaing (Dharmmesta, 1999).
Pengaruh
kualitas terhadap loyalitas juga telah dibuktikan oleh hasil penelitian
Sabihaini (2002) yang menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas jasa akan
memberikan dampak yang baik untuk meningkatkan loyalitas. Bloomer, Ruyter dan
Peeters (1998) mendapatkan kualitas jasa memiliki pengaruh langsung terhadap
loyalitas dan mempengaruhi loyalitas melalui kepuasan. Hasil yang sama juga
diperlihatkan oleh hasil penelitian Fornell
(1992), Boulding et al. (1993), Andreasson dan Lindestad (1998).
iii. Citra
Para pakar
pemasaran memberikan berbagai definisi serta pendapat tentang citra dan dengan
penekanan yang beragam pula. Walaupun demikian mereka sepakat akan semakin
pentingnya citra yang baik (positif) bagi sebuah produk. Bahkan Band (1987)
menambahkan satu lagi P ‘Public Image’ sebagai bauran pemasaran dari 4P yang
sudah biasa dikenal, yaitu; Product (hasil), Price (harga), Place (tempat), dan
Promotion (promosi).
Kotler (2000,
553) mendefinisikan citra sebagai “seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang
dimiliki seseorang terhadap suatu objek”. Selanjutnya beliau mengatakan “sikap
dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dikondisikan oleh citra
objek tersebut”. Ini member arti bahwa kepercayaan, ide serta impresi seseorang
sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku serta respon yang mungkin
akan dilakukannya. Seseorang yang mempunyai impresi dan kepercayaan tinggi
terhadap suatu produk tidak akan berpikir panjang untuk membeli dan menggunakan
produk tersebut bahkan boleh jadi ia akan menjadi pelanggan yang loyal.
Kemampuan menjaga loyalitas pelanggan dan relasi bisnis, mempertahankan atau
bahkan meluaskan pangsa pasar, memenangkan suatu persaingan dan mempertahankan
posisi yang menguntungkan tergantung kepada citra produk yang melekat di
pikiran pelanggan.
Suatu perusahaan akan dilihat melalui citranya
baik citra itu negatif atau positif. Citra yang positif akan memberikan arti
yang baik terhadap produk perusahaan tersebut dan seterusnya dapat meningkatkan
jumlah penjualan. Sebaliknya penjualan produk suatu perusahaan akan jatuh atau
mengalami kerugian jika citranya dipandang negative oleh masyarakat (Yusoff,
1995).
Sunter (1993)
berkeyakinan bahwa pada masa akan datang hanya dengan citra, maka pelanggan
akan dapat membedakan sebuah produk dengan produk lainnya. Oleh karena itu bagi
perusahaan jasa memiliki citra yang baik adalah sangat penting. Dengan konsep
citra produk yang baik ia dapat melengkapkan identitas yang baik pula dan pada
akhirnya dapat mengarahkan kepada kesadaran yang tinggi, loyalitas, dan
reputasi yang baik.
Pengaruh citra
ke atas loyalitas juga ditemukan dalam hasil penelitian Andreassen (1999),
serta Andreassen dan Linestad (1998). Hasil penelitian mereka, ada yang
menyimpulkan bahwa citra produk mempunyai dampak langsung yang signifikan
terhadap loyalitas pelanggan dan ada pula yang menyatakan dampaknya tidak
langsung, tetapi melalui variabel lain. Sebaliknya penelitian Bloemer, Ruyter
dan Peeters (1998) pula menyimpulkan bahwa citra tidak member dampak langsung
kepada loyalitas, namun menjadi variable moderator antara kualitas dan
loyalitas.
iv. Rintangan untuk Berpindah
Faktor lain
yang mempengaruhi loyalitas yaitu besar kecilnya rintangan berpindah (switching
barrier) (Fornell, 1992). Rintangan berpindah terdiri dari; biaya keuangan(financial
cost), biaya urus niaga (transaction cost), diskon bagi pelanggan loyal (loyal
customer discounts), biaya social (social cost), dan biaya emosional (emotional
cost). Semakin besar rintangan untuk berpindah akan membuat pelanggan menjadi
loyal, tetapi loyalitas mereka mengandung unsur keterpaksaan.
KESIMPULAN
Loyalitas
pelanggan perlu diperoleh karena
pelanggan yang setia akan aktif berpromosi, memberikan rekomendasi kepada
keluarga dan sahabatnya, menjadikan produk sebagai pilihan utama, dan tidak
mudah pindah. Para peneliti seakan sepakat bahwa kepuasan pelanggan merupakan
faktor utama yang dapat menarik loyalitas pelanggan. Kepuasan pelanggan dapat
dilihat dari kebanggaan terhadap institusi tersebut, terpenuhinya keinginan
pelanggan, institusi sudah ideal bagi pelanggan dan rasa puas pelanggan
terhadap institusi penyedia produk.
Perlu diketahui
bahwa pelanggan yang puas tidak serta merta akan menjadi pelanggan yang loyal.
Karena pada hakekatnya manusia memiliki rasa ingin tahu dan mencoba sesuatu
yang baru. Oleh karena itu perlu ada strategi tepat supaya dapat menghalangi
pelanggan untuk pindah ke produk pesaing. Misalnya saja dengan memberi diskon
kepada pelanggan yang loyal. Halangan berpindah yang dibuat tentu saja dengan
memperhatikan etika bisnis yang berlaku. Loyalitas pelanggan yang berada pada
tahap kognitif dapat dipertahankan dengan meningkatkan nilai produk terutama
penurunan harga serta peningkatan manfaat dan kualitas produk.
Loyalitas
pelanggan yang berada pada tahap afektif dapat dipertahankan dengan memberikan
kepuasan, memberi nilai tambahan serta menciptakan rintangan berpindah, seperti
diskon bagi pelanggan yang loyal. Sedangkan pelanggan yang loyalitasnya berada
pada tahap konatif dan tindakan, selain memberikan kepuasan, kesetiaannya dapat
diraih dengan adanya relationship berkelanjutan sehingga pada akhirnya muncul
emotional cost bila mereka ingin berpindah ke produk pesaing.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson
E. W., dan M. Sullivan (1993), The Antecedents and Consequences of Customer
Satisfaction for Firms, Marketing Science, 12 (2), 125-43.
Andreassen,
T. W (1999), “What Drives Customer Loyalty with Complaint Resolution?” Journal
of Service Research, Vol. 1, No. 4, Mei pp. 324-332.
Band,
William A. (1987), Build Your Company Image to Increase Sales. Sales & Marketing Management in Canada. Vol. 28 p.
10-12.
Beatty
S. E., L. R. Kahle, dan P. Homer, (1988), The Involvement Commitment Model:
Theory and Implications, Journal of Business Research, Vol. 16, No. 2,
pp. 149-167.
Bloemer
dan Ruyter (1998) On the Relationship between Store Image, Store Satisfaction,
and Store Loyalty. European Journal of Marketing.
Vol. 32 No. 5/6. pp. 499-513.
Bloemer,
Ruyter dan Peeters (1998). “Investigating Drivers of Bank Loyalty: the Complex
Relationship between Image, Service Quality and Satisfaction”, International
Journal of Bank Marketing, Vol. 16/7, pp.276-286.
Boulding,
W.A. Klra. R. Staelin, dan V.A. Zeithhaml (1993), A Dinamic Process Model of
Service Quality: from Expectations to Behavioral Intentions, Journal of
Marketing Research, Vol. 30 (Pebruary) pp. 7–27.
Crosby
dan Taylor (1983), dalam Dharmmesta, B.S., (1999) Loyalitas Pelanggan: Sebuah
Kajian Konseptual sebagai Panduan bagi Peneliti, Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol. 14, No. 3. Pp. 73-88.
Dharmmesta,
B.S., (1999) Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual sebagai Panduan bagi
Penalty, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14, No. 3. Pp. 73-88.
Engel,
J.F., (1990), Consumer Behavior, 6th ed. Chicago: The Dryden Press.
Fornell,
(1992), A National Customer Satisfaction Barometer: The Swedish Experience, Journal
of Marketing, Vol. 56 (January), pp. 6-21
Jones
dan Sasser (1995) dalam Oliver, Richard L. (1999), “Whence Consumer Loyalty?, Journal
of Marketing, Vol 63 (special issue) pp. 33-44.
Sabihaini,
(2002), Analisis konsekuensi Keperilakuan Kualitas Layanan; Suatu Kajian
Empirik, Usahawan, No. 02 Th xxxi pp. 29-36.
Shellyana
J. dan Basu S.D.(2002) Pengaruh Ketidakpuasan pengguna, Karakteristik Kategori Produk,
dan Kebutuhan Mencari Variasi terhadap Keputusan Perpindahan Merek, Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 17 No 1. P. 91-104.
Kotler,
P. (1997). Marketing Management: Analysis Planning, Implementation and
Control, New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Strewart
(1997) dalam Oliver, Ricard L. Kotler, P., (2000), Marketing Management, The Millenium Edition, New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Kotler
P., Hayes, Thomas, Bloom Paul N. (2002). Marketing Professional Service,
Prentice Hall International Press.
Mowen,
J.C. dan M. Minor (1998) Consumer Behavior, 5 Ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice
Hall,Inc.
Oliver,
Richard L. (1999), “Whence Consumer Loyalty?, Journal of Marketing,
Vol 63 (special issue) pp. 33-44.
Reicheld
(1996) dalam Oliver, Ricard L. (1999), “Whence Consumer Loyalty?, Journal
ofMarketing, Vol 63 (special issue) pp. 33-44.
Sunter,
C. (1993), In Van Heerden, Cornelius H. dan Puth, Gustav. 1995. Factors that
Determine the Corporate Image of South African Banking Institutions. International
Journal of Bank Marketing. Vol. 13. No. 3 p. 1217.
Wilkie,
Williem L, (1994), Consumer Behavior, 3 rd ed. John Wiley & Sons, Inc.
Yusoff,
M. (1995), Konsep Asas Periklanan. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar