Minggu, 06 April 2014

tugas PI

MERAIH LOYALITAS PELANGGAN








Nama Kelompok:
1.      Muhammad Harun Ramadhan 14211855
2.      Hendra Kurniawan                  13211286
3.      Kurnia Hari                              14211040






Abstract
Customer loyalty has been recognized as the dominant factor in a business organization's success. Therefore it has received considerable attention in both marketing and management theory and practice.This article describes factors that determine customer loyalty and explores the essential strategic considerations for companies Contemplating the development of loyalty initiatives. It also establishes customer satisfactions, service quality, institution image, and switching barrier are cultivated in a manner that leads to loyalty.
Keywordscustomer loyalty, customer satisfactions, service quality, institution image, and switching  barrier

PENDAHULUAN
Arti Penting Loyalitas Pelanggan
Persaingan yang semakin hebat antara institusi penyedia produk belakangan ini bukan hanya disebabkan globalisasi. Tetapi lebih disebabkan karena pelanggan semakin cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang memaafkan, dan didekati oleh banyak produk. Kemajuan teknologi komunikasi juga ikut berperan meningkatkan intensitas persaingan, karena memberi pelanggan akses informasi yang lebih banyak tentang berbagai macam produk yang ditawarkan. Artinya pelanggan memiliki pilihan yang lebih banyak dalam menggunakan uang yang dimilikinya.
Kotler, Hayes dan Bloom (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya. Pertama: pelanggan yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi. Kedua: biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar berbanding menjaga dan mempertahankan pelanggan yang ada. Ketiga: pelanggan yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat: biaya operasi institusi akan menjadi efisien jika memiliki banyak pelanggan loyal. Kelima: institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial dikarenakan pelanggan lama telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi. Keenam: pelanggan loyal akan selalu membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan member saran kepada orang lain untuk menjadi pelanggan.

DEFINISI LOYALITAS
Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Mowen dan Minor (1998) mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi di mana pelanggan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi (Dharmmesta, 1999). Ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual.
Definisi loyalitas dari pakar yang disebutkan di atas berdasarkan pada dua pendekatan, yaitu sikap dan perilaku. Dalam pendekatan perilaku, perlu dibedakan antara loyalitas dan perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai perilaku pelanggan yang hanya membeli suatu produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan dan pemilikan di dalamnya. Sebaliknya loyalitas mengandung aspek kesukaan pelanggan pada suatu produk. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya. Loyalitas berkembang mengikuti tiga tahap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Biasanya pelanggan menjadi setia lebih dulu pada aspek kognitifnya, kemudian pada aspek afektif, dan akhirnya pada aspek konatif. Ketiga aspek tersebut biasanya sejalan, meskipun tidak semua kasus mengalami hal yang sama.
Tahap pertama: Loyalitas Kognitif
Pelanggan yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan informasi keunggulan suatu produk atas produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik fungsional, terutama biaya, manfaat dan kualitas. Jika ketiga faktor tersebut tidak baik, pelanggan akan mudah pindah ke produk lain. Pelanggan yang hanya mengaktifkan tahap kognitifnya dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang paling rentan terhadap perpindahan karena adanya rangsangan pemasaran (Dharmmesta, 1999).
Tahap kedua: Loyalitas Afektif
Sikap merupakan fungsi dari kognisi pada periode awal pembelian (masa sebelum konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah dengan kepuasan di periode berikutnya (masa setelah konsumsi). Munculnya loyalitas afektif ini didorong oleh faktor kepuasan yang menimbulkan kesukaan dan menjadikan objek sebagai preferensi. Kepuasan pelanggan berkorelasi tinggi dengan niat pembelian ulang di waktu mendatang. Pada loyalitas afektif, kerentanan pelanggan lebih banyak terfokus pada tiga faktor, yaitu ketidakpuasan dengan merek yang ada, persuasi dari pemasar maupun pelanggan merek lain, dan upaya mencoba produk lain (Dharmmesta, 1999).
Tahap ketiga: Loyalitas Konatif
Konasi menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu. Niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya (pada masa sebelum konsumsi) dan sikap pada masa setelah konsumsi. Maka loyalitas konatif merupakan suatu loyalitas yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Hasil penelitian Crosby dan Taylor (1983) yang menggunakan model runtutan sikap: keyakinan – sikap – niat memperlihatkan komitmen untuk melakukan (niat) menyebabkan preferensi pemilih tetap stabil selama 3 tahun. Jenis komitmen ini sudah melampaui afek. Afek hanya menunjukkan kecenderungan motivasional, sedangkan komitmen untuk melakukan menunjukkan suatu keinginan untuk melaksanakan tindakan. Keinginan untuk membeli ulang atau menjadi loyal itu hanya merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana. Untuk melengkapi runtutan loyalitas, satu tahap lagi ditambahkan pada model kognitif-afektif-konatif, yaitu loyalitas tindakan. 
Tahap keempat; Loyalitas Tindakan
Aspek konatif atau niat untuk melakukan berkembang menjadi perilaku dan tindakan. Niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan keinginan untuk mengatasi hambatan dalam melakukan tindakan tersebut. Jadi loyalitas itu dapat menjadi kenyataan melalui beberapa tahapan, yaitu pertama sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif, dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan. Pelanggan yang terintegrasi penuh pada tahap loyalitas tindakan dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang rendah tingkat kerentanannya untuk berpindah ke produk lain. Dengan kata lain, loyalitas tindakan ini hanya sedikit bahkan sama sekali tidak member peluang pada pelanggan untuk berpindah ke produk lain. Pada loyalitas konasi dan tindakan, kerentanan pelanggan lebih terfokus pada faktor persuasi dan keinginan untuk mencoba produk lain. 
MENGUKUR LOYALITAS
Secara umum, loyalitas dapat diukur dengan cara-cara berikut:
1.      Urutan pilihan (choice sequence)
Metode urutan pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang ini banyak dipakai dalam penelitian dengan menggunakan panel-panel agenda harian pelanggan lainnya, dan lebih terkini lagi, data scanner supermarket. Urutan itu dapat berupa:
i. Loyalitas yang tak terpisahkan (undivided loyalty) dapat ditunjukkan dengan runtutan AAAAAA. Artinya pelanggan hanya membeli suatu produk tertentu saja. Misalnya: pelanggan selalu memilih clear setiap membeli shampo. 
ii. Loyalitas yang terbagi (divided loyalty) dapat ditunjukkan dengan runtutan ABABAB. Artinya pelanggan membeli dua merek secara bergantian. Misalnya: suatu ketika membeli shampo clear dan berikutnya shampo zink.
iii. Loyalitas yang tidak stabil (unstable loyalty) dapat ditunjukkan dengan runtutan AAABBB. Artinya pelanggan memilih suatu merek untuk beberapa kali pembelian kemudian berpindah ke merek lain untuk periode berikutnya. Misalnya: selama 1 tahun pelanggan memilih shampo clear dan tahun berikutnya shampo zink.
iv. Tanpa loyalitas (no loyalty), ditunjukkan dengan runtutan ABCDEF. Artinya pelanggan tidak membeli suatu merek tertentu.  Kotler (2000, 268) mempunyai istilah lain untuk loyalitas di atas, yaitu; ‘Hard-core loyals, split loyals, shifting loyals, dan switchers’.
2.       Proporsi pembelian (proportion ofpurchase)
Berbeda dengan runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel pelanggan.
3.       Preferensi (preference)
Cara ini mengukur loyalitas dengan menggunakan komitmen psikologis atau pernyataan preferensi. Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang positif” terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk membeli.  
4.       Komitmen (commitment)
Komitmen lebih terfokus pada komponen emosional/perasaan. Komitmen terjadi dari keterkaitan pembelian yang merupakan akibat dari keterlibatan ego dengan kategori merek (Beatty, Kahle, Homer, 1988). Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep-diri pelanggan. Cara pertama dan kedua di atas merupakan pendekatan perilaku (behavioural approach). Cara ketiga dan keempat termasuk dalam pendekatan attitudinal (attitudinal approach).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LOYALITAS
i. Kepuasan Pelanggan
Definisi kepuasan yang terdapat dalam berbagai literatur cukup beragam. Kotler (2000, 36) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai perasaan suka/tidak seseorang terhadap suatu produk setelah ia membandingkan prestasi produk tersebut dengan harapannya. Wilkie (1994; 541), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai tanggapan emosional yang positif pada evaluasi terhadap pengalaman dalam menggunakan suatu produk atau jasa. Engel (1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi setelah pembelian di mana produk yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melebihi harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan. Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan prestasi atau hasil yang dirasakan.
            Baik praktisi ataupun akademisi memahami bahwa loyalitas pelanggan dan kepuasannya adalah berkaitan, walaupun keterkaitannya adalah tidak selalu beriringan (Oliver, 1999). Kepuasan adalah langkah yang penting dalam pembentukan loyalitas tetapi menjadi kurang signifikan ketika loyalitas mulai timbul melalui mekanisme-mekanisme lainnya. Mekanisme lainnya itu dapat berbentuk kebulatan tekad dan ikatan sosial. Loyalitas memiliki dimensi yang berbeda dengan kepuasan. Kepuasan menunjukkan bagaimana suatu produk memenuhi tujuan pelanggan (Oliver, 1999). Kepuasan pelanggan senantiasa merupakan penyebab utama timbulnya loyalitas.
Namun penelitian-penelitian lain mendapati kurangnya pengaruh kepuasan terhadap loyalitas. Misalnya Jones dan Sasser (1995) menyimpulkan bahwa dengan hanya memuaskan pelanggan adalah tidak cukup menjaga mereka untuk tetap loyal, sementara mereka bebas untuk
membuat pilihan. Strewart (1997) menyimpulkan adalah keliru untuk mengemukakan asumsi bahwa kepuasan dan loyalitas adalah bergerak bersamasama. Reicheld (1996) mengemukakan bukti bahwa dari para pelanggan yang puas atau sangat puas, antara 65% sampai 85% akan berpindah ke produk lain. Dalam industry otomotif pula dia  menemukan 85% sampai 95% pelanggan  yang puas, hanya 30% - 40% yang kembali kepada merek atau model sebelumnya.
Oliver (1999), mencoba mengelompokkan bentuk hubungan kepuasan – loyalitas ke dalam 6 kelompok panel. Kelompok panel 1 berasumsi bahwa kepuasan dan loyalitas adalah manifesto yang terpisah dari konsep yang sama dalam cara yang kebanyakan sama. Panel 2 berpendapat bahwa kepuasan adalah konsep inti untuk loyalitas yang mana loyalitas tidak akan ada tanpa kepuasan, dan bahwa kepuasan adalah dasar dari loyalitas. Panel 3 mengecilkan peranan dasar dari kepuasan dan mengemukakan bahwa kepuasan adalah suatu unsur dari loyalitas. Panel 4 menunjukkan bahwa keberadaan loyalitas tanpa batas di mana kepuasan dan loyalitas ‘sederhana’ menjadi komponennya. Panel 5 mengemukakan bahwa kepuasan merupakan bagian dari loyalitas, tapi bukan bagian esensi loyalitas. Panel 6 mengemukakan bahwa kepuasan adalah permulaan dari suatu rangkaian transisi atau peralihan yang berkulminasi dalam loyalitas. Enam panel tersebut nampak dalam gambar 2.
Loyalitas terjadi karena adanya pengaruh kepuasan/ketidakpuasan dengan produk tersebut yang berakumulasi secara terus menerus di samping adanya persepsi tentang kualitas produk (Boulding, Staelin, dan Zeithaml, 1993), (Bloemer, Ruyter dan Peeters, 1998). 
ii. Kualitas Jasa
Salah satu faktor penting yang dapat  membuat pelanggan puas adalah kualitas jasa (Shellyana dan Basu, 2002). Kualitas jasa ini mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan (Anderson dan Sullivan 1993). Pemasar dapat meningkatkan kualitas jasa untuk mengembangkan loyalitas pelanggannya. Produk yang berkualitas rendah akan menanggung resiko pelanggan tidak setia. Jika kualitas diperhatikan, bahkan diperkuat dengan periklanan yang intensif, loyalitas pelanggan akan lebih mudah diperoleh Kualitas dan promosi menjadi faktor kunci untuk menciptakan loyalitas pelanggan
.
. jangka panjang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelanggan akan menjadi loyal pada produk-produk berkualitas tinggi jika produk-produk tersebut ditawarkan dengan harga yang bersaing (Dharmmesta, 1999).
Pengaruh kualitas terhadap loyalitas juga telah dibuktikan oleh hasil penelitian Sabihaini (2002) yang menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas jasa akan memberikan dampak yang baik untuk meningkatkan loyalitas. Bloomer, Ruyter dan Peeters (1998) mendapatkan kualitas jasa memiliki pengaruh langsung terhadap loyalitas dan mempengaruhi loyalitas melalui kepuasan. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh hasil penelitian Fornell  (1992), Boulding et al. (1993), Andreasson dan Lindestad (1998). 
iii. Citra
Para pakar pemasaran memberikan berbagai definisi serta pendapat tentang citra dan dengan penekanan yang beragam pula. Walaupun demikian mereka sepakat akan semakin pentingnya citra yang baik (positif) bagi sebuah produk. Bahkan Band (1987) menambahkan satu lagi P ‘Public Image’ sebagai bauran pemasaran dari 4P yang sudah biasa dikenal, yaitu; Product (hasil), Price (harga), Place (tempat), dan Promotion (promosi).
Kotler (2000, 553) mendefinisikan citra sebagai “seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek”. Selanjutnya beliau mengatakan “sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dikondisikan oleh citra objek tersebut”. Ini member arti bahwa kepercayaan, ide serta impresi seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku serta respon yang mungkin akan dilakukannya. Seseorang yang mempunyai impresi dan kepercayaan tinggi terhadap suatu produk tidak akan berpikir panjang untuk membeli dan menggunakan produk tersebut bahkan boleh jadi ia akan menjadi pelanggan yang loyal. Kemampuan menjaga loyalitas pelanggan dan relasi bisnis, mempertahankan atau bahkan meluaskan pangsa pasar, memenangkan suatu persaingan dan mempertahankan posisi yang menguntungkan tergantung kepada citra produk yang melekat di pikiran pelanggan. 
 Suatu perusahaan akan dilihat melalui citranya baik citra itu negatif atau positif. Citra yang positif akan memberikan arti yang baik terhadap produk perusahaan tersebut dan seterusnya dapat meningkatkan jumlah penjualan. Sebaliknya penjualan produk suatu perusahaan akan jatuh atau mengalami kerugian jika citranya dipandang negative oleh masyarakat (Yusoff, 1995).
Sunter (1993) berkeyakinan bahwa pada masa akan datang hanya dengan citra, maka pelanggan akan dapat membedakan sebuah produk dengan produk lainnya. Oleh karena itu bagi perusahaan jasa memiliki citra yang baik adalah sangat penting. Dengan konsep citra produk yang baik ia dapat melengkapkan identitas yang baik pula dan pada akhirnya dapat mengarahkan kepada kesadaran yang tinggi, loyalitas, dan reputasi yang baik.
Pengaruh citra ke atas loyalitas juga ditemukan dalam hasil penelitian Andreassen (1999), serta Andreassen dan Linestad (1998). Hasil penelitian mereka, ada yang menyimpulkan bahwa citra produk mempunyai dampak langsung yang signifikan terhadap loyalitas pelanggan dan ada pula yang menyatakan dampaknya tidak langsung, tetapi melalui variabel lain. Sebaliknya penelitian Bloemer, Ruyter dan Peeters (1998) pula menyimpulkan bahwa citra tidak member dampak langsung kepada loyalitas, namun menjadi variable moderator antara kualitas dan loyalitas.
iv. Rintangan untuk Berpindah
Faktor lain yang mempengaruhi loyalitas yaitu besar kecilnya rintangan berpindah (switching barrier) (Fornell, 1992). Rintangan berpindah terdiri dari; biaya keuangan(financial cost), biaya urus niaga (transaction cost), diskon bagi pelanggan loyal (loyal customer discounts), biaya social (social cost), dan biaya emosional (emotional cost). Semakin besar rintangan untuk berpindah akan membuat pelanggan menjadi loyal, tetapi loyalitas mereka mengandung unsur keterpaksaan. 
KESIMPULAN
Loyalitas pelanggan perlu diperoleh  karena pelanggan yang setia akan aktif berpromosi, memberikan rekomendasi kepada keluarga dan sahabatnya, menjadikan produk sebagai pilihan utama, dan tidak mudah pindah. Para peneliti seakan sepakat bahwa kepuasan pelanggan merupakan faktor utama yang dapat menarik loyalitas pelanggan. Kepuasan pelanggan dapat dilihat dari kebanggaan terhadap institusi tersebut, terpenuhinya keinginan pelanggan, institusi sudah ideal bagi pelanggan dan rasa puas pelanggan terhadap institusi penyedia produk. 
Perlu diketahui bahwa pelanggan yang puas tidak serta merta akan menjadi pelanggan yang loyal. Karena pada hakekatnya manusia memiliki rasa ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru. Oleh karena itu perlu ada strategi tepat supaya dapat menghalangi pelanggan untuk pindah ke produk pesaing. Misalnya saja dengan memberi diskon kepada pelanggan yang loyal. Halangan berpindah yang dibuat tentu saja dengan memperhatikan etika bisnis yang berlaku. Loyalitas pelanggan yang berada pada tahap kognitif dapat dipertahankan dengan meningkatkan nilai produk terutama penurunan harga serta peningkatan manfaat dan kualitas produk.
Loyalitas pelanggan yang berada pada tahap afektif dapat dipertahankan dengan memberikan kepuasan, memberi nilai tambahan serta menciptakan rintangan berpindah, seperti diskon bagi pelanggan yang loyal. Sedangkan pelanggan yang loyalitasnya berada pada tahap konatif dan tindakan, selain memberikan kepuasan, kesetiaannya dapat diraih dengan adanya relationship berkelanjutan sehingga pada akhirnya muncul emotional cost bila mereka ingin berpindah ke produk pesaing.








DAFTAR PUSTAKA
Anderson E. W., dan M. Sullivan (1993), The Antecedents and Consequences of Customer Satisfaction for Firms, Marketing Science, 12 (2), 125-43.
Andreassen, T. W (1999), “What Drives Customer Loyalty with Complaint Resolution?” Journal of Service Research, Vol. 1, No. 4, Mei pp. 324-332.
Band, William A. (1987), Build Your Company Image to Increase Sales. Sales & Marketing Management in Canada. Vol. 28 p. 10-12.
Beatty S. E., L. R. Kahle, dan P. Homer, (1988), The Involvement Commitment Model: Theory and Implications, Journal of Business Research, Vol. 16, No. 2, pp. 149-167.
Bloemer dan Ruyter (1998) On the Relationship between Store Image, Store Satisfaction, and Store Loyalty. European Journal of Marketing. Vol. 32 No. 5/6. pp. 499-513.
Bloemer, Ruyter dan Peeters (1998). “Investigating Drivers of Bank Loyalty: the Complex Relationship between Image, Service Quality and Satisfaction”, International Journal of Bank Marketing, Vol. 16/7, pp.276-286.
Boulding, W.A. Klra. R. Staelin, dan V.A. Zeithhaml (1993), A Dinamic Process Model of Service Quality: from Expectations to Behavioral Intentions, Journal of Marketing Research, Vol. 30 (Pebruary) pp. 7–27.
Crosby dan Taylor (1983), dalam Dharmmesta, B.S., (1999) Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual sebagai Panduan bagi Peneliti, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14, No. 3. Pp. 73-88.
Dharmmesta, B.S., (1999) Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual sebagai Panduan bagi Penalty, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14, No. 3. Pp. 73-88.
Engel, J.F., (1990), Consumer Behavior, 6th ed. Chicago: The Dryden Press.
Fornell, (1992), A National Customer Satisfaction Barometer: The Swedish Experience, Journal of Marketing, Vol. 56 (January), pp. 6-21
Jones dan Sasser (1995) dalam Oliver, Richard L. (1999), “Whence Consumer Loyalty?, Journal of Marketing, Vol 63 (special issue) pp. 33-44.
Sabihaini, (2002), Analisis konsekuensi Keperilakuan Kualitas Layanan; Suatu Kajian Empirik, Usahawan, No. 02 Th xxxi pp. 29-36.
Shellyana J. dan Basu S.D.(2002) Pengaruh Ketidakpuasan pengguna, Karakteristik Kategori Produk, dan Kebutuhan Mencari Variasi terhadap Keputusan Perpindahan Merek, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 17 No 1. P. 91-104.

Kotler, P. (1997). Marketing Management: Analysis Planning, Implementation and Control, New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Strewart (1997) dalam Oliver, Ricard L. Kotler, P., (2000), Marketing Management, The Millenium Edition, New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Kotler P., Hayes, Thomas, Bloom Paul N. (2002). Marketing Professional Service, Prentice Hall International Press.
Mowen, J.C. dan M. Minor (1998) Consumer Behavior, 5  Ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,Inc.
Oliver, Richard L. (1999), “Whence Consumer Loyalty?, Journal of Marketing, Vol 63 (special issue) pp. 33-44.
Reicheld (1996) dalam Oliver, Ricard L. (1999), “Whence Consumer Loyalty?, Journal ofMarketing, Vol 63 (special issue) pp. 33-44.
Sunter, C. (1993), In Van Heerden, Cornelius H. dan Puth, Gustav. 1995. Factors that Determine the Corporate Image of South African Banking Institutions. International Journal of Bank Marketing. Vol. 13. No. 3 p. 1217.
Wilkie, Williem L, (1994), Consumer Behavior, 3 rd ed. John Wiley & Sons, Inc. 
Yusoff, M. (1995), Konsep Asas Periklanan. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar